Kemenangan

Sebelum 9 April 1948, Deir Yassin adalah sebuah desa cantik yang terletak di atas bukit yang berbatasan dengan Al-Quds.  Baru sebulan lamanya desa itu menandatangani sebuah pakta damai (non-aggression pact) dengan desa Givat Sha’ul, desa tetangganya yang dihuni oleh masyarakat Yahudi.  Dari desa ini pula datangnya sebagian gerombolan milisi Zionis yang meluluhlantakkan Deir Yassin, sedangkan sebagian lainnya menyerang dari Beit Ein Karim.

Dua kelompok milisi yang bertanggung jawab atas insiden berdarah ini adalah Stern Gang yang dipimpin oleh Menachem Begin (yang kemudian menjadi Perdana Menteri ke-6 Israel) dan Irgun.  Meskipun kedua kelompok ini disebut sebagai 'kelompok ekstrem', namun pemerintah Zionis tak pernah mencegah tindakan-tindakan ekstrem mereka.  Dalam kasus ini, kedua kelompok milisi ini merasa frustasi karena operasi pendudukan Deir Yassin yang dimulai sejak pagi buta, yang diperkirakan akan berlangsung mulus tanpa perlawanan berarti, ternyata justru menemukan jalan buntu di hadapan penduduk desa yang segera mengumandangkan jihad.  Haganah, faksi militer terbesar milik Zionis kala itu, pada awalnya menolak untuk ikut serta, namun akhirnya meminjamkan tenaganya juga.  Merasa dipermalukan oleh perlawanan para mujahid, Stern Gang dan Irgun pun lepas kendali.  Semua penduduk yang dapat mereka temui dibunuh di tempat.  Mereka bahkan tidak membantah telah membunuh ibu-ibu hamil, anak-anak dan orang tua.  Para pemuda diarak ke pemukiman Yahudi, disambut oleh sorak sorai dan tepuk tangan penduduknya, sebelum akhirnya mereka dieksekusi begitu saja.

Yayasan Deir Yassin Remembered didirikan untuk mengenang peristiwa pembantaian Deir Yassin yang seolah dengan sengaja dilupakan sejarah; atau lebih tepatnya, dihapus dari buku-buku sejarah oleh para pemenang sejarah.  Pembantaian inilah yang mengawali pembantaian-pembantaian lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Zionis secara sistematis dengan metode yang sama; mengadakan perjanjian damai, melanggar perjanjian damai, membantai tanpa pandang bulu, mengusir penduduk asli, mendirikan pemukiman baru, menyensor semua referensi yang membicarakan kejadian sebenarnya dan mengendalikan pergerakan informasi global.  Semuanya berawal dari Deir Yassin.

* * * * * *

Matilah hati jika tidak bergetar mendengar penuturan Zainab dari keluarga Zahran yang lolos dari pembantaian Deir Yassin.  Tiga puluh tujuh anggota keluarganya terbunuh pada hari itu.  Pasukan Zionis membantai seisi rumah hanya dengan berdiri di ambang pintu.  Pada hari itu, peluru berbicara semaunya.  Tak ada hati nurani, tak ada belas kasihan, tak ada perjanjian damai, tak ada Palestina, tak ada manusia selain Yahudi.  Pada saat pembantaian Deir Yassin terjadi, Zainab baru berusia dua puluh tahun, hidup bagai seorang putri di tengah-tengah keluarga yang berbahagia.

”Aku berharap telah mati sebelum peristiwa itu,“ ujarnya.  Itulah kenangan perasaannya dari masa lampau yang telah lama ditinggalkannya.  Ada kesedihan di dalamnya, tapi waktu telah menempanya menjadi perempuan besi.  Di usia senjanya kini, kedua matanya tak pernah berhenti bersinar, dan lidahnya tak lelah memuji Allah.

Mungkin kita bukan termasuk orang-orang yang dapat memahami kerinduan di balik sajak Bilal ra. yang mengalun mesra memanggil Mekkah di kejauhan.  Di kota itu ia diperbudak, namun di kota itu pula ia dimerdekakan.  Di kota itu ia disiksa, namun di kota itu pula ia menemukan hidayah dan kekasihnya, Rasulullah saw.  Kaum perantau pun takkan pernah sepenuhnya memahami kerinduan kaum muhajirin pada kampung halaman, karena mereka dapat pulang kapan saja, tidak seperti mereka yang diusir paksa dari rumah-rumahnya, dicerai-beraikan dari anggota keluarganya, dipisahkan dari tanah tumpah darahnya.

Lumpuhlah hati jika tidak menyadari isak tangis yang tak lagi mengurai air mata ketika Zainab mengunjungi pinggiran wilayah Deir Yassin yang kini diberi pagar tinggi oleh pemerintah Zionis.  Mereka rebut desa itu dengan keji, mereka bantai penduduknya, sedangkan sebagian besar tanahnya hingga kini tidak digunakan sama sekali, melainkan sekedar untuk dijadikan sebagai wilayah terlarang yang tak boleh dimasuki oleh siapa pun.  Rupa-rupanya pemerintah Zionis pun bergetar bulu kuduknya dihantui oleh kenangan Deir Yassin.  Dulu mereka dimenangkan oleh peluru, namun kini mereka dicekik oleh waktu.  Tinggallah Zainab yang menciumi tanaman di pinggir desanya dengan penuh haru.

* * * * * *

Kekejaman kaum Zionis dari waktu ke waktu memaksa kita untuk terus mempertanyakan kembali arti kemanusiaan.  Apakah kemanusiaan itu memang sesuatu yang melekat pada diri manusia, ataukah ia hanya ilusi belaka yang lahir dari impian serba indah manusia?

Pada titik-titik tertentu, kita pun tergoda untuk mempertanyakan sebuah kemungkinan untuk melakukan hal yang sama dengan yang pernah (dan selalu) mereka lakukan.  Mengapa kita tidak melanggar perjanjian damai, sebagaimana kebiasaan mereka?  Mengapa kita tidak membunuh semua Yahudi tanpa pandang bulu, sebagaimana mereka menanam peluru di kepala bayi-bayi Muslim?  Mengapa tidak kita tangkap mereka dan kita gantung tubuhnya di dinding-dinding tinggi agar mereka dihinggapi rasa ngeri seperti teror yang terus mereka lancarkan kepada umat Muslim Palestina?  Mengapa tidak kita cincang hidup-hidup tawanan seperti Gilad Shalit, sebagaimana mereka telah menyiksa dengan keji tawanan Palestina, bahkan yang anak-anak sekalipun?

Masjidil Aqsha adalah milik Allah, Al-Quds adalah milik Allah, seluruh tanah Palestina adalah milik Allah, bahkan seluruh penjuru bumi ini adalah milik Allah.  Kelak seluruh manusia akan datang kepada Allah, baik dengan penuh sukacita ataupun dengan terpaksa, baik dengan berjalan tegak ataupun melata.  Tidak perlu penegasan tanah ini milik siapa, bumi ini milik siapa, langit ini milik siapa.  Semuanya akan pulang kepada pemiliknya.  Manusialah yang perlu menegaskan; dengan segala cobaan yang dihadapinya, aturan siapakah yang akan dijadikannya pegangan?

Berapa banyak mata terperangah, berapa banyak mulut menganga menyaksikan Rasulullah saw. memasuki kota Mekkah sebagai pemenang setelah bertahun-tahun keluar karena diasingkan dan disiksa tanpa henti.  Berapa banyak jiwa-jiwa kerdil yang gemetar ketakutan ketika sang panglima besar memasuki pintu kota tanpa menghadapi perlawanan yang berarti dari penduduknya.  Berapa banyak hati yang tertunduk malu menyaksikan kedatangan sang pemenang yang ternyata tidak merasa perlu meniru perilaku musuh-musuhnya ketika berjaya dahulu.

Maha Suci Allah yang tidak memberatkan manusia dengan tugas-tugas yang melebihi kapasitasnya.  Manusia bisa diliputi euforia jumawa beberapa saat lamanya dengan bermodalkan peluru, tapi pemilik kemenangan sejati adalah mereka yang pulang ke hadapan Allah dengan senyum memberkas di wajah.  Mereka yang bersikeras untuk tidak meniru kejahatan orang lain telah menang sebelum dinyatakan menang.  Kemenangan sejati adalah ketika kita menghadapi kejahatan, kekejaman, kekejian, kecurangan, kelicikan, kedustaan dan keberingasan dengan kata-kata tegas: "Aku bukan sepertimu.  Kita tidak sama, dan takkan pernah sama."

Kami akan tetap di jalan ini hingga mendapat kemenangan, atau syahid mendahului.


http://akmal.multiply.com/journal/item/792/Kemenangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar