Jakarta, sebagai ibu kota telah menjadi tempat bertemu dan tinggalnya berbagai orang dari beragam etnis dan agama. Soal cerita kerukunan beragama, ada sebuah masjid dan gereja yang dibangun berdempetan oleh para pelaut yang singgah di kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara.
Dua rumah ibadah yang hanya terpisah oleh dindingi ini adalah Masjid Al Muqarrabien dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim, yang berlokasi di jalan Enggano, Jakarta Utara.
Kedua bangunan tampak serasi dengan warna yang saling melengkapi. Masjid Al Muqarrabien berlantai dua dicat dengan warna merah, hijau, dan biru. Sementara gereja di sampingnya berdiri dengan warna cat putih dan merah.
Menurut Ketua Pengurus Masjid, Haji Tawakal, kalau dua bangunan yang didirikan selisih satu tahun tersebut di bangun oleh pelaut-pelaut yang singgah di Tanjung Priok.
"Kalau masjid dibangun pelaut muslim pada tahun 1958, bulannya kurang begitu jelas. Nah kalau gereja dibuat pelaut yang beragama Kristen yang dibangun setahun sebelumnya, tahun 1957," jelasnya kepada merdeka.com.
Selama ini, kata Tawakal, kedua belah pihak selalu menjalin komunikasi sangat erat. Sesuai nama Al Muqarrabien yang mengandung arti saling menghormati itu. Salah satu bentuknya, pemasangan suara pengeras mesjid yang dipasang agar tidak menganggu kegiatan ibadah gereja.
"Pengeras suara di Al Muqarrabien sengaja dipasang menghadap ke arah barat. Sedangkan bangunan gereja berada di sebelah timur. Itu suatu bentuk penghargaan dari pengurus masjid agar ketika adzan yang bersamaan dengan waktu ibadah di gereja ini, masing-masing bisa berjalan dengan khidmat," ujarnya.
Soal kerukunan itu juga diceritakan Pendeta Barakatih dari Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim. Hubungan dua rumah ibadah itu diibaratkannya seperti 'kakak-beradik' yang saling mengasihi. Tidak pernah ada keributan selama 55 tahun masjid dan gereja itu berdiri berdampingan.
"Kita juga pernah bikin buka puasa bersama, bagi-bagi kolak ke warga yang kurang mampu. Kalau Natal sendiri, mereka juga menyediakan halaman untuk tempat parkiran, Jadi ada toleransi juga antar umat beragama, karena kita menganggap seperti saudara kandung," terangnya.
Ia juga menceritakan kisah kerusuhan pada tahun 1988 di Tanjung Priok, gereja tersebut akan diserang oleh sekelompok orang. Namun warga Muslim yang merupakan jamaah Masjid Al-Muqarrabien tersebut ikut melindungi jemaat.
"Ketika kerusuhan terjadi, jamaah Masjid menjaga gereja. Mereka juga mengatakan kepada sekelompok orang yang akan membakar gereja untuk membakar masjid terlebih dahulu jika mereka hendak membakar gereja. Jadi mereka yang jaga pada saat kerusuhan Tanjung Priok dulu," imbuhnya.
Hingga kini pun dua tempat ibadah tersebut masih berdiri kokoh. Kedua pihak berharap kalau bangunan tersebut mampu menjadi cagar budaya bagi Indonesia dalam memberikan contoh kerukunan umat beragama.
Masih ada semangat kebhinnekaan dan tenggang rasa yang tinggi di tengah sorotan tajam dunia internasional atas kerukunan di Indonesia yang belakangan kian menipis.
sumber
Dua rumah ibadah yang hanya terpisah oleh dindingi ini adalah Masjid Al Muqarrabien dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim, yang berlokasi di jalan Enggano, Jakarta Utara.
Kedua bangunan tampak serasi dengan warna yang saling melengkapi. Masjid Al Muqarrabien berlantai dua dicat dengan warna merah, hijau, dan biru. Sementara gereja di sampingnya berdiri dengan warna cat putih dan merah.
Menurut Ketua Pengurus Masjid, Haji Tawakal, kalau dua bangunan yang didirikan selisih satu tahun tersebut di bangun oleh pelaut-pelaut yang singgah di Tanjung Priok.
"Kalau masjid dibangun pelaut muslim pada tahun 1958, bulannya kurang begitu jelas. Nah kalau gereja dibuat pelaut yang beragama Kristen yang dibangun setahun sebelumnya, tahun 1957," jelasnya kepada merdeka.com.
Selama ini, kata Tawakal, kedua belah pihak selalu menjalin komunikasi sangat erat. Sesuai nama Al Muqarrabien yang mengandung arti saling menghormati itu. Salah satu bentuknya, pemasangan suara pengeras mesjid yang dipasang agar tidak menganggu kegiatan ibadah gereja.
"Pengeras suara di Al Muqarrabien sengaja dipasang menghadap ke arah barat. Sedangkan bangunan gereja berada di sebelah timur. Itu suatu bentuk penghargaan dari pengurus masjid agar ketika adzan yang bersamaan dengan waktu ibadah di gereja ini, masing-masing bisa berjalan dengan khidmat," ujarnya.
Soal kerukunan itu juga diceritakan Pendeta Barakatih dari Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim. Hubungan dua rumah ibadah itu diibaratkannya seperti 'kakak-beradik' yang saling mengasihi. Tidak pernah ada keributan selama 55 tahun masjid dan gereja itu berdiri berdampingan.
"Kita juga pernah bikin buka puasa bersama, bagi-bagi kolak ke warga yang kurang mampu. Kalau Natal sendiri, mereka juga menyediakan halaman untuk tempat parkiran, Jadi ada toleransi juga antar umat beragama, karena kita menganggap seperti saudara kandung," terangnya.
Ia juga menceritakan kisah kerusuhan pada tahun 1988 di Tanjung Priok, gereja tersebut akan diserang oleh sekelompok orang. Namun warga Muslim yang merupakan jamaah Masjid Al-Muqarrabien tersebut ikut melindungi jemaat.
"Ketika kerusuhan terjadi, jamaah Masjid menjaga gereja. Mereka juga mengatakan kepada sekelompok orang yang akan membakar gereja untuk membakar masjid terlebih dahulu jika mereka hendak membakar gereja. Jadi mereka yang jaga pada saat kerusuhan Tanjung Priok dulu," imbuhnya.
Hingga kini pun dua tempat ibadah tersebut masih berdiri kokoh. Kedua pihak berharap kalau bangunan tersebut mampu menjadi cagar budaya bagi Indonesia dalam memberikan contoh kerukunan umat beragama.
Masih ada semangat kebhinnekaan dan tenggang rasa yang tinggi di tengah sorotan tajam dunia internasional atas kerukunan di Indonesia yang belakangan kian menipis.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar