Sebagian Pejabat Majapahit Beragama Islam


Buku mengenai Majapahit sudah banyak ditulis, dan semakin banyak diterbitkan pada tahun-tahun terakhir era Reformasi, karena Reformasi dianggap gagal karena dikhianati para pemimpin maling, dan bangsa terpuruk di titik nadir. Untuk mempertahankan semangat hidup bangsa yang hampir padam, para intelektual beramai-ramai memompa semangat dengan penerbitan buku-buku mengenai sejarah masa lalu bangsa yang pernah jaya dan menjadi superpower dunia, termasuk era Majapahit.
Buku Adrian Perkasa ini bisa dikatakan juga mengantre untuk menjadi barisan pemompa semangat bangsa yang bernasib malang. Namun karena sudah terlalu banyak buku serupa, maka jatuhnya memang banyak bagian dari buku ini yang mengulang.
Apalagi tampaknya buku ini tadinya skripsi S-1, maka uraian di dalamnya memang tidak seberapa mendalam, dan hanya berupa kesimpulan-kesimpulan dari penelitian dan teori para professor besar dalam bidang sejarah dan antropologi.
Namun, ada beberapa diantara kesimpulan itu yang terasa menarik, karena jarang dibicarakan orang, meski juga Adrian tidak membahasnya seberapa mendalam—lagi-lagi karena adalah skripsi S-1. Mungkin dalam perjalanan lebih lanjut, Adrian diharapkan akan memperdalam penelitian tersebut kalau berniat melanjutkan ke jenjang S2 dan S3. Semoga status dan aktifitas Adrian sebagai bintang film dan sinetron tidak menghambat langkah lanjut tersebut.
SITUS TROLOYO DAN TAMBANGAN NEGARA
Garis bawah yang diguratkan oleh Adrian yang menarik adalah mengenai tafsir pada situs makam Troloyo dan situs Prasasti Hayam Wuruk yang berupa pencatatan daftar tambangan alias pelabuhan perahu di tepi sungai Brantas dan Bengawan Solo.
Dari pembacaan nisan-nisan di kompleks makam Troloyo alias kompleks makam Islam, tampaklah bahwa makam itu adalah kuburan para anggota kerajaan yang wafat di zaman Hayam Wuruk, Wikramawardhana dan Ratu Suhita atau berangka tahun 1397, 1407, 1427, 1467 dan 1475 M.
Artinya, orang yang dimakamkan di kompleks Troloyo alias makam Islam tersebut, adalah para pejabat tinggi kerajaan Majapahit di zaman Hayam Wuruk, Wikramawardhana dan Ratu Suhita. Artinya sebagian kecil atau mungkin 20 % pejabat tinggi Kerajaan Majapahit sudah ada yang beragama Islam, jadi Islam bukan agama yang asing di masa kejayaan Majapahit.
Apalagi dalam “Kitab Kidung Sunda” juga diriwayatkan, bahwa ketika rombongan Sunda hendak bertamu ke Majapahit, sebelum terjadi perselisihan yang berakibat Perang Bubat, mereka berkumpul di Masjid Agung Majapahit yang terletak di sudut Lapangan Bubat.
“….e sang natheng Sunda, kamu kinen mareka, de bhattareng Majapahit, sira wus prapta, mangke aneng Masigit….” ( II.68 )
Memang agak mengherankan jika Empu Prapanca tidak menyinggung sama sekali keberadaan orang-orang Islam di Majapahit, tetapi kalau membaca kitab “Desawarnana” alias “Negarakertagama” secara teliti, memang Empu Prapanca tampak sangat subyektif menomor satukan uraian mengenai agama Buddha, karena memang Prapanca adalah pendeta Budha dan pejabat tinggi urusan agama Budha, dan hanya sedikit menyebut-nyebut agama Hindu. Jadi, apalagi menyebut Islam yang minoritas, sedangkan agama Hindu yang sama-sama mayoritas dengan Budha saja jarang disebut oleh Parapanca.
Selanjutnya Adrian Perkasa menggarisbawahi Prasasti Hayam Wuruk yang menyebut, bahwa komunitas yang ikut mengelola tambangan atau pelabuhan sungai milik Negara Majapahit adalah kaum yang beribadah “dasardha diwasa” alias ibadah lima waktu sehari, dan itu tentunya adalah kaum Islam.
Adrian menafsirkan, kaum Islam di pedalaman pedesaan Jawa zaman Majapahit tersebut adalah kaum Cina-Mongol Islam yang merupakan sisa-sisa pasukan Cina-Mongol yang melakukan desersi dan tidak mau pulang ke Cina setelah perang melawan Kerajaan Singosari-Kediri gagal alias kalah, karena “dikhianati” oleh Raden Wijaya yang lantas mendirikan Majapahit. Mungkin juga, mereka akhirnya berkompromi memihak Raden Wijaya untuk bersama-sama membangun Majapahit, apalagi mereka rata-rata adalah insinyur persenjataan dan ahli bangunan, serta ahli industry keramik, jadi sangat dibutuhkan oleh Majapahit yang baru berdiri.
Dan memang puluhan tahun kemudian, ketika Cheng Ho dan armadanya berkunjung ke Jawa, Ma Huan sekretaris Cheng Ho mencatat keberadaan mereka dalam buku “Ying Yai Sheng Lan”, bahwa di banyak pelabuhan Majapahit ( pelabuhan laut maupun pelabuhan sungai ) terdapat tiga jenis komunitas, yaitu komunitas Huihui atau kaum Islam dari Asia Tengah, komunitas Cina Muslim dari Dinasti Tang asal Guangdong, Zhangzou dan Quanzhou serta komunitas pribumi Jawa yang paling banyak.
Dan memang, akhir-akhir ini, Yayasan Yamasta yang beranggotakan Viddy Ad Daery, Sufyan Al-Jawi, Drs.Mat Rais dan Farhaz Daud telah menemukan satu situs lengkap bekas desa kuno di tepi Sungai Bengawan Solo yang dihuni tiga komunitas seperti yang dicatat oleh Ma Huan tersebut. Sebentar lagi video penelitian mengenai situs desa Lukman Hakim ( yang kini berganti nama desa Luk Rejo ) tersebut akan dirilis.
Penulis resensi : Viddy Ad Daery   *) konsultan media di Pelita Group.
Buku                : Orang-orang Tionghoa & Islam di Majapahit.
Penulis            : Adrian Perkasa
Penerbit         : Ombak , Jogjakarta.
Tahun terbit  :  2012.
Tebal               : xvi + 148 halaman.
Ukuran            : 14,5 x 20,5 cm

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar