Mengajak Jalaluddin Rakhmat Bertobat

Jalaluddin Rakhmat, memanipulasi ayat untuk mendukung gagasan Pluralisme Agama. Cara seperti ini sama saja dengan “menjual minyak babi bercap onta”. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke 164
Oleh: Adian Husaini

Pada tanggal 19 September 2006 lalu, bertempat di kampus Universitas Paramadina Jakarta, saya diundang untuk membahas buku baru dari Dr. Jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan.” Sejak awal, saya sebenarnya enggan melayani perdebatan tentang Pluralisme Agama, karena berdasarkan pengalaman, selama ini, perdebatan seperti itu tidak banyak membawa manfaat.
Tetapi, karena ada pertimbangan khusus, undangan itu saya terima. Beberapa pekan sebelumnya, saya sudah bertemu dengan Jalaluddin Rakhmat, yang biasanya dipanggil sebagai Kang Jalal. Dalam forum tersebut Jalal menyatakan, bahwa “menjadi orang Kristen yang beramal shalih lebih baik daripada menjadi orang muslim yang jahat”. Saya sempat kirim SMS mempertanyakan ucapan dia tersebut.
Dengan niat ingin berdakwah dan menjelaskan kekeliruan pandangan “Pluralisme Agama” tersebut di kampus Paramadina, saya bersedia menghadiri forum tersebut. Ternyata forum itu sangat ramai. Pengunjung berjubel memadati ruangan. Maka, sedapat mungkin, saya mencoba menjelaskan kekeliruan paham Pluralisme Agama, termasuk yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat melalui bukunya tersebut. Untuk itu, pada malam itu, saya luncurkan juga buku baru saya yang berjudul “Pluralisme Agama: Parasit bagi Agama-agama”.
Salah satu yang saya kritik keras adalah cara Jalaluddin Rakhmat dalam mengutip dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang dia katakan sebagai “ayat pluralis”. Tampak, ada pemutarbalikkan makna ayat-ayat Al-Quran dengan tujuan untuk melegitimasi pandangan Pluralisme Agama, seolah-olah Pluralisme Agama adalah paham yang dibenarkan oleh Al-Quran . Cara seperti ini sama saja dengan “menjual minyak babi tetapi diberi cap onta”. Ayat-ayat Al-Quran ditafsirkan dengan semaunya sendiri untuk membenarkan paham yang salah.
Dalam bukunya tersebut, misalnya, Jalal mengutip, pendapat Rasyid Ridha dalam Kitab Tafsir al-Manar Jilid I:336-338, tentang penafsiran QS al-Baqarah: 62, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan kaum Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shalih, maka mereka akan mendapatkan pahala dari sisi Allah dan tidak ada ketakutan dan kekhawatiran atas mereka.”
Dalam ayat ini, menurut Jalal yang mengutip Rasyid Ridha, kaum Yahudi dan Kristen akan dapat meraih keselamatan meskipun tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Jadi, untuk meraih keselamatan, seseorang hanya disyaratkan beriman kepada Allah, iman kepada hari pembalasan, dan beramal saleh – tanpa wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw. Bahkan, Jalaluddin Rakhmat juga menyatakan:
“Bertentangan dengan kaum eksklusivis adalah kaum pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk sorga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Each one is valid within its particular culture. Mereka percaya rahmat Allah itu luas.”
Pendapat semacam ini sudah pernah dikemukakan oleh tokoh Pluralis Agama Prof. Abdul Aziz Sachedina, yang menulis:
Rashid Rida does not stipulate belief in the prophethood of Muhammad for the Jews and Christians desiring to be saved, and hence implicitly maintains the salvific validity of both the Jewish and Christian revelation.” (Terjemahan bebasnya: Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen). (Lihat Abdul Aziz Sachedina, “Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification in the Classical and Modern Age, dalam Hans Kung and Jurgen Moltman, Islam: A Challenge for Christianity, (London: SCM Press, 1994)).
Baik Jalaluddin Rakhmat atau Sachedina sama-sama bersikap manipulatif dalam menampilkan pendapat Muhamamd Abduh dan Rasyid Ridha tentang keselamatan Ahli Kitab. Mereka hanya mengutip Tafsir al-manar Jilid I, dan tidak melanjutkan telaahnya kepada bagian lain Tafsir al-Manar. Jalaluddin Rakhmat bahkan menyimpulkan bahwa Rasyid Ridha seolah-olah merupakan seorang pluralis. Padahal, jika mereka mau menelaah bagian Tafsir al-Manar lainnya, akan dapat menemukan pendapat Mohammad Abduh atau Rasyid Ridha yang sangat berbeda dengan kesimpulan mereka itu.
Dalam forum di Paramadina tersebut, saya bawakan fotokopian Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, yang dengan tegas menyebutkan, bahwa bahwa QS al-Baqarah:62 tersebut adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya kepada mereka, sehingga kebenaran agama Islam tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka, Rasyid Ridha menggunakan QS Ali Imran ayat 199 sebagai landasannya. Kepada mereka ini, untuk meraih keselamatan, maka harus memenuhi lima syarat, yaitu:
(1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu’), (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harta benda dunia.
Abduh mengakui adanya Ahli Kitab yang memenuhi kelima syarat itu, hanya saja jumlahnya sedikit, dan mereka itu merupakan orang-orang pilihan dalam hal ilmu, keutamaan, dan ketajaman penglihatan batin. Mereka tersembunyi dalam lipatan-lipatan sejarah atau di lereng-lereng gunung dan pelosok-pelosok negeri, dan oleh agama resmi mereka malah dituduh sebagai kafir dan pengikut ajaran sesat.
Itulah pendapat Abduh dan Ridha tentang keselamatan Ahli Kitab sebagaimana ditulis dalam Tafsir al-Manar, yang secara gegabah dimanipulasi oleh Abdul Aziz Sachedina dan Jalaluddin Rakhmat. Tindakan memanipulasi pendapat mufassir semacam ini adalah tindakan yang sangat tidak terpuji, apalagi digunakan untuk mendukung paham Pluralisme Agama, yang sama sekali tidak dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Jika mau mendukung paham Pluralisme Agama, lakukanlah dengan fair dengan membuat tafsir sendiri, baik Tafsir Jalaluddin Rakhmat atau Tafsir Sachedina, tanpa memanipulasi pendapat ulama atau tokoh yang lain.
Dengan logika sederhana kita bisa memahami, bahwa untuk dapat “beriman kepada Allah” dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah dengan benar, karena Allah SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya.
Sejak lama Jalaluddin Rakhmat dikenal sebagai pakar dan jago komunikasi massa. Kata-katanya mengalir dan bisa menyihir orang yang mendengarnya. Saya melihat, bagaimana hebatnya dia dalam mempengaruhi orang, apalagi yang tidak sempat mengecek sendiri ayat-ayat atau tafsir Al-Quran yang dikutipnya.
Saya berpikir, alangkah sayangnya, kepandaian dan kehebatan itu jika digunakan untuk menyesatkan manusia. Padahal, jika kepandaian itu digunakan untuk mengajak manusia ke jalan Allah, akan sangat bermanfaat, bagi diri Jalaluddin Rakhmat sendiri, maupun bagi umat Islam secara keseluruhan. Selama ini, Jalaluddin Rakhmat banyak dikenal sebagai penyebar ide-ide Syiah di Indonesia. Entah mengapa, dia sekarang meloncat lagi menjadi penyebar ide-ide Pluralisme Agama, yang amat sangat kacau dan merusak.
Tampilnya Jalaluddin Rakhmat sebagai penyebar ide Pluralisme Agama tentu saja menambah darah baru bagi para pendukung paham ini. Tetapi, jika ditelaah, argumentasi yang digunakan masih seputar itu-itu juga. Ayat-ayat yang dikutip dalam Al-Quran juga dipilih-pilih yang seolah-olah mendukung paham Pluralisme Agama. Tetapi, karena pendukung paham ini kadang begitu pandai dalam mengutip ayat-ayat al-Quran, bukan tidak mungkin akan banyak orang yang tertipu, menyangka ‘’minyak babi’’ yang dijajakan mereka sebagai ‘’minyak onta’’.
Dengan masuknya Jalaluddin Rakhmat ke dalam barisan penyebar paham ini, maka sekarang, bagi umat Islam, sudah makin jelas, di barisan mana Jalaluddin Rakhmat berada. Di akhir presentasi saya, secara terbuka, saya mengajak Jalaluddin Rakhmat untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar, dengan meninggalkan paham Pluralisme Agama dan kembali kepada iman Islam. Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan kekeliruan mereka. Jika mereka tidak mau menerima, tugas saya untuk menyampaikan sudah selesai. Terserah mereka, Jalaluddin Rakhmat dan pendukung Pluralisme Agama lainnya, untuk mengambil sikap.
Di atas semua itu, sebagai Muslim, kita patut merenungkan firman Allah SWT:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu.” (QS Al-An’am:112)
Mudah-mudahan, sebagai Muslim yang mengimani kebenaran Islam, kita tidak termasuk ke dalam barisan musuh para Nabi. Amin. (Jakarta, 29 September 2006/www.hidayatullah.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar